Breaking News

21 Juni 2017

KONFERENSI MALINO


Foto Pulau Banua Banjar.

Di Konferensi Malino itu, macam-macam pendapat mengemuka. Orang Dayak Kristen berdiri di ujung spektrum yang pro Belanda, bersama orang Toraja dan Papua. Spektrum lain adalah pro Republik Indonesia, dimana berdiri para pemimpin etnis Banjar. Dan di antara kedua kutub yang berlawanan ini ada berbagai pendirian yang bersifat kompromi.
Salah satu wakil delegasi Dayak dalam konferensi Malino tersebut adalah Raden Cyrillus Kersanegara. Cyrillus mengatakan akan bekerjasama dengan usul Belanda manapun asalkan orang Dayak memperoleh daerah administratif sendiri. Namun, pendapat Cyrillus kurang dihiraukan.
Akan tetapi, ketika kekuatan faksi republiken meningkat di Borneo, Belanda akhirnya memperbaiki tawarannya. Orang Dayak akhirnya mendapatkan apa yang mereka usulkan tadi melalui instrumen Dekrit 1946 (Februari), yakni Dayak Besar (Groot Dajak). Status konstitusionalnya berada di bawah negara federal, dengan tujuan suatu saat menjadi negara sendiri.
Dewan Dayak Besar (Groot Dajakraad) pun kemudian terbentuk pada Desember 1946. Namun, pada pertengahan 1947, serangan yang terorganisir dengan baik dari etnis Banjar republiken tak kuasa dibendung oleh Dewan Dayak Besar. Meski demikian, pada Desember 1948, pemilihan umum berhasil digelar untuk memilih anggota Dewan Dayak Besar.
Akan tetapi, sentimen etnis dan keislaman yang ditimbulkan secara artifisial lebih mengemuka ketimbang wacana republiken itu sendiri. Ancaman dari etnis Banjar Islam, yang pro Republik Indonesia, justru memperkuat perasaan ‘Dayak Kristen’ yang pro Belanda melalui apa yang dinamakan Tentara Lawong/Laung, pasukan milisi Dayak Kristen anti Republik Indonesia.
Tentara Lawong (Pasukan Laung) adalah pasukan milisi Dayak Kristen pro Belanda. Pada masa perang kemerdekaan, Belanda memang sengaja menimbulkan konflik antar etnis-religius di antara etnis-etnis pribumi Kalimantan.
Tentara Lawong dibentuk, dilatih dan dipersenjatai oleh Belanda untuk membantu Belanda dalam menghadapi pasukan Divisi IV ALRI/Pertahanan Kalimantan (yang didominasi etnis Banjar/Islam) pimpinan Gubernur Militer Hasan Basry. Tentara Lawong juga menolak integrasi Kalimantan menjadi bagian dari Indonesia dan memberi dukungan bagi terbentuknya negara Borneo Merdeka.
Setelah pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Belanda oleh Pemerintahan Militer ALRI Divisi IV pimpinan Gubernur Militer Hasan Basry, Tentara Lawong melancarkan gerakan pemberontakan namun berhasil ditumpas dan kemudian dipaksa menyerah oleh pejuang Banjar yang tergabung dalam pasukan ALRI Divisi IV/Pertahanan Kalimantan.
Daerah Dayak Besar saat itu (sekarang propinsi Kalimantan Tengah) dihuni oleh penduduk pedesaan sebanyak 340.000 jiwa. Sekitar 70% dari mereka adalah orang Dayak Ngaju dari wilayah aliran hulu Sungai Kapuas dan Kahayan (NIB XVI: 465-8). Kelompok-kelompok etnis selebihnya diperkirakan masing-masing kurang dari 30.000 jiwa, semuanya orang Dayak, kecuali orang Banjar.
Walau ada usaha intensif dari misi Kristen, hanya 6% penduduk wilayah ini yang memeluk agama Kristen, jadi tidak seperti orang Dayak di Kalimantan Barat (Kalbar) yang beralih ke agama Kristen dalam jumlah besar. Kelompok non-Kristen yang merupakan kelompok mayoritas, secara merata terbagi antara orang Islam dan Kaharingan.
Walaupun keadaannya demikian, orang Dayak selalu disebut ’Dayak Kristen’ dalam korespondensi kolonial. Karena lebih baik pendidikannya, maka kelompok Dayak Kristen mempunyai pengaruh yang melebihi jumlahnya terhadap perkembangan di wilayah Dayak di masa yang dibahas di sini.
Ketika pemilihan umum akhirnya diadakan untuk memilih Dewan Dayak Besar (Groot Dajakraad) bulan Desember 1948, Belanda merasa lega melihat bahwa ke-19 anggota terpilih hampir tanpa pengaruh dari partai-partai politik. Partai Serikat Kerakjatan Indonesia (SKI) yang merupakan Partai pro-Republik Indonesia dan berpusat di Banjarmasin, merupakan satu-satunya perkecualian, tetapi lemah organisasinya. Namun Belanda tidak lama kemudian mengakui bahwa di lapangan tak seorang pun masih tertarik dengan dewan yang tak berdaya itu (NIBXI:72).
Sampai dibubarkannya tahun 1949 Dewan Dayak Besar itu bersidang di Banjarmasin. Para Pembimbing Belanda nya diam-diam mengeluh tentang ’tiadanya intelektual’ (NIB XIX: 383-6). RADEN CYRILLUS KARSANEGARA (ketua Dewan Dayak Besar) diajak kepada berbagai cara diplomatik sebagai ’penasihat’ tingkat-tiga (NIB XV: 144, XVI: 29). Ketika MOCHRAN BIN HADJI MOHAMMAD ALI menggantikannya awal tahun 1949, ia pun tak banyak bicara (NIB XVII: 332-4, 357-62, XIX: 778).
Walaupun demikian, ciptaan tak efektif yang lahir di tengah krisis kenegaraan itu telah menjadi preseden masalah teritorial Dayak. Sesudah pertengahan 1947, laporan-laporan Van Mook ke Den Haag mulai mengakui bahwa ia tidak dapat membendung pasang naik sentimen Republik di daerah-daerah yang dikuasai Belanda (NIB IX: 363-81).
Pembentukan Dewan Dayak Besar merupakan salah satu kemenangan Belanda yang tidak banyak berarti dalam melawan serangan yang terorganisasi dengan baik dari etnis Banjar Republiken. Lagipula pejuang-pejuang gerilya Republik (ALRI DIVISI IV/Pertahanan Kalimantan) di bawah pimpinan HASAN BASRY awal tahun 1949 memperoleh kemenangan-kemenangan penting di Borneo. Namun penguasa BELANDA lebih condong menggaris bawahi ciri agama Islamnya para pemberontak daripada kecenderungan mereka pada Republik. Penguasa Belanda menekan kepala-kepala desa ’Daak Kristen’ untuk membentuk milisi guna melawan mereka (etnis Banjar republiken). Agaknya apa yang dinamakan TENTARA LAWONG/Laung (pasukan milisi Dayak Kristen anti-Republik Indonesia) berasal dari masa ini. GUBERNUR A. G. DEELMAN menilai persaingan antar etnis-religius, yang sebenarnya sengaja ditimbulkan secara artifisial, patut disayangkan, namun ia merasa juga ada akibat sampingannya yang bermanfaat.
Ancaman dari orang Banjar Islam (ia sengaja tak menyebut mereka Banjar Republik) justru memperkokoh perasaan etnis Dayak. “Hal itu dengan jelas berpengaruh konkret mendorong ‘kebangkitan Dayak’ yang telah tampak sebelum perang kemerdekaan Indonesia, juga mendorong rasa solidaritas kelompok etnis ini,” tulisnya (NIB XVIII: 500-3).
Pukulan terakhir terhadap Dewan Dayak Besar merupakan pukulan diplomatik, yang diberikan oleh HASAN BASRY. GUBERNUR A. G. DEELMAN (Gubernur Belanda untuk BORNEO) telah minta MOCHRAN BIN HADJI MOHAMMAD ALI (ketua DEWAN DAYAK BESAR) dan mitranya dari DEWAN BANJAR bentukan Belanda, HANAFIAH, pergi ke Jakarta bulan Mei 1949 untuk mencoba membendung dukungan Republik Indonesia terhadap perjuangan gerilya HASAN BASRY (NIB XVIII: 500-3).
Tetapi tak seorang pun di Jakarta terkesan oleh argumentasi mereka, dan perjalanan itu hanya berhasil menunjukkan betapa tak efektifnya kedua anggota dewan yang pro-Belanda dari Banjarmasin itu.
Melihat lemahnya posisi DEELMAN, HASAN BASRY memanfaatkan keadaan ini dengan baik dan mengundang MOCHRAN BIN HADJI MOHAMMAD ALI dan HANAFIAH pada bulan Agustus 1949 untuk duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta. Mereka menerima tawaran itu, tidak sangsi lagi karena takut akan masa depan mereka jika mereka tetap bertahan mendukung Belanda. Tanggal 17 Agustus 1949, pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia, HASAN BASRY (Gubernur Militer Kalimantan) membubarkan DEWAN BANJAR dan DEWAN DAYAK BESAR dan menggantikannya dengan DEWAN NASIONAL (NIB XIX: 187-8, 721). Hal itu merupakan skakmat bagi strategi Belanda untuk membentuk Negara Borneo Merdeka boneka Belanda.
Salah satu pemimpin yang paling menonjol dari Tentara Lawong yaitu Cristian Simbar pria kelahiran desa Madara . Dia mantan sekretaris kepala distrik (wedana atau camat) di Buntok. Kota kecil di tepi sungai Dayak tanah Dusun terletak sekitar lima puluh kilometer barat laut Tamiang Layang. Dukungan antusias dari penduduk setempat kepada Tentara Lawung lebih disebabkan kepada prakteknya, bukan gagasan atau idiologi gerakan tersebut, dimana dalam prakteknya yang bergaya seperti Robin Hood. Mereka merampok kapal dagang yang lewat dan membagikan hasilnya kepada masyarakat yang membutuhkan, dan juga untuk mereka. Tentara Lawong merampok kapal dagang di Karau, Negara, dan terakhir di Kalahien, dekat Buntok.
Mereka bertindak dengan menyamar seperti otoritas berwajib, mengenakan seragam Aparat pemerintah. Mereka selama melakukan penggerebekan yang biasanya selalu di ikuti pembagian harta rampasan. Tapi kejadian di Kalahien pada akhir tahun 1953 naas bagi mereka terlalu banyak polisi mengepung mereka, yang kemudian berakhir dengan ditangkapnya sejumlah anak buah Simbar saat merampok Kapal dagang Cina, Gin Wan II.
Empat orang yang ditangkap dan ditahan adalah kerabat simbar, dan dia memutuskan untuk menyerang kembali. Awal pagi Minggu, 22, November 1953, Simbar dan ratusan pengikut Dayaknya menyerbu kota Buntok. Mereka membebaskan rekan mereka yang dipenjara, tapi dalam proses pembebasan itu mereka membunuh enam polisi, serta enam anggota keluarga polisi tersebut, termasuk tiga anak. Kemudian kelempok ini melarikan diri dengan senjata yang di rampas dari gudang senjata polisi.
Munculnya kekuatan bersenjata yang memonopoli kekerasan kemudian banting stir untuk kepentingan politik di daerahnya. Daripada menjadi penjahat, Simbar dan kelompoknya yang semula terkooptasi berubah menjadi komoditas politik yang bermanfaat. Pada awalnya, milisi ini menarik perhatian kelompok-kelompok lokal yang dianggap mereka sebagai gerakan agama bukan sebagai kekuatan etnis. Dimana dayak Kristen menilai tentara lawung sebagai sekutu potensial untuk melawan pejuang Banjar, yang mereka anggap menimbulkan ancaman bagi agama mereka.
0 Comments

Tidak ada komentar:

Translate

Artikel Terbaru

Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan

  Menteri Agama Nsaruddin Umar berfoto bersama para guru السلام عليكم Ùˆ رحمة الله Ùˆ بركاته بسم الله Ùˆ الحمد لله اللهم صل Ùˆ سلم على سيدنا محم...

Powered by BeGeEm - Designed Template By HANAPI