Alkisah, di masa Daulah Abbasiyah, tepatnya ketika Khalifah Al Mutawakkil menjabat sebagai kepala negara, seorang wanita bernama Zainab, mengaku-ngaku bahwa dirinya adalah cucu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyebut dirinya adalah putri dari pasangan; Ali bin Abi Thalib dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma.
Bagaimana mungkin ia masih hidup ketika itu? Berarti ia hidup selama dua ratus tahun lebih, karena rentang masa antara zaman nubuwah dan Daulah Abbasiyah, berkisar dua abad lamanya.
Meskipun pengakuannya ini tidak masuk akal, tetapi di tengah masyarakat, Zainab merupakan orang yang cukup berpengaruh. Ia memiliki banyak pengikut. Bahkan ia mampu mengeksploitasi harta pengikutnya. Maka Khalifah Al Mutawakkil pun mengeluarkan perintah untuk mengundangnya ke istana.
“Kamu ini seorang gadis dan Rasulullah telah wafat ratusan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? ” khalifah mencecar Zainab.
Kemudian Zainab berkata, “Sesungguhnya Rasulullah megusap kepalaku dan berdoa kepada Allah untuk mengembalikan masa mudaku setiap empat puluh tahun sekali.”
Masih belum yakin dengan jawaban yang tidak masuk akal ini, Khalifah Al Mutawakkil mengumpulkam masyayikh (para tetua) keturunan Ali bin Abi Thalib, putra-putra Al-‘Abbas, segenap warga Quraisy, dan memberitahu mereka perkara Zainab yang sangat kontroversial. Dan kemudian mereka pun menyebutkan sebuah riwayat bahwa Zainab telah wafat.
“Apa yang kamu katakan untuk menjawab pernyataan mereka?” khalifah kembali bertanya penuh selidik kepada Zainab.
“Itu riwayat palsu dan keji. Karena sesungguhnya, privasiku terjaga dari pengetahuan orang-orang. Bahkan mereka tidak tahu tentang kehidupan dan kematianku.” Zainab mematahkan tuduhan itu dengan penuh percaya diri.
Kemudian Khalifah bertanya kepada jama’ah yang dia kumpulkan, “Adakah kalian memiliki bukti yang dapat mengungkap tipu daya wanita ini selain riwayat yang kalian sampaikan?” Sayangnya mereka menjawab, “Tidak.”
Namun beberapa saat kemudian, sebagian mereka menawarkan satu solusi untuk memecahkan masalah ini dengan mendatangkan Ali bin Muhammad bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang mempunyai laqob (nama panggilan) “Al-Haadi.”
Setelah disampaikan kepadanya apa yang sedang terjadi, Al Hadi pun menegaskan bahwa Zainab putri Ali sudah lama meninggal dengan menyebutkan tahun, bulan, dan hari kematiannya. Tetapi bukan jawaban seperti ini yang diinginkan Sang khalifah. Beliau bahkan berjanji tidak akan melepaskan Zainab sebelum membungkamnya dengan hujjah yang kuat.
“Jika benar dia adalah anak Fathimah”, akhirnya Ali Al Hadi kembali bersuara, berusaha mengungkap tipu daya Zainab dengan mengajukan sebuah tantangan, “Sesungguhnya jasad keturunan Fathimah tidak akan dimangsa oleh hewan-hewan buas. Maka datangkanlah hewan buas kepadanya. Dan lemparkan ia di tengah kerumunan hewan buas itu.”
“Tidak!” teriak Zainab yang raut wajahnya tetiba berubah ketakutan. “Ini hanyalah cara agar dia bisa membunuhku! Kenapa tidak kamu saja yang melakukannya.” katanya berusaha membela diri.
Dengan tenang, Ali Al Hadi berkata, “Ya. Aku berani membuktikannya.” Dan beberapa saat kemudian, ia dimasukkan ke dalam sebuah kandang. Perlahan-lahan, enam ekor singa yang ada di dalam kandang itu, mendekati Ali satu per satu. Dengan lembut, tangan Ali membelai kepala singa-singa yang mendekatinya. Binatang-binatang buas itu, di hadapan Ali Al Hadi, menjadi jinak dan penurut.
Begitu melihat Ali keluar dari kandang dengan selamat, dan dilihatnya dengan mata kepala sendiri sebuah pemandangan yang langka, Zainab pun hanya terdiam seribu bahasa. Dan, akhirnya, ia akui kebohongan yang selama ini ia desuskan, tipu daya yang selama ini dia mainkan. Masyarakat yang mengetahui kejadian ini, menjulukinya dengan sebutan, “Zainab Al Kadzaabah.”