"Bismillah...
Sebagian Manaqib Datu Sanggul;
Beliau mempunyai banyak kelebihan. Selalu shalat Jum'at di Makkah, dan menjadi murid Nabi Khidhir.
Syeikh Abdussamad sering membagi daging binatang rusa dan kijang kepada penduduk dusun Muning Kalimantan Selatan ditempat tinggalnya. Daging itu diperoleh dengan cara menyumpit binatang tersebut yang lewat di bawah pohon tempat dia duduk berjuntai setiap hari. Namun kebiasaan tersebut tidak dilakukan pada hari Jum'at, karena dia pergi ke Mekkah untuk melakukan Shalat Jum'at.
Pekerjaan menghadang dan mengintip binatang itu disebut menyanggul yang berasal dari kata sanggul. Inilah asal mula Syaikh Abdussamad diberi gelar Datu Sanggul, atau Datuk Sanggul.
Datu Sanggul, seperti dikutip dari Riwayat Datu Sanggul, saduran M. Zaini A.D., pada suatu hari diminta Nabi Khidhir untuk mengantar Datu Daha ke Mekkah. Datu Daha ingin shalat di sana. Datu Daha adalah anak angkat Nabi Khidhir setelah dia mengalami peristiwa yang luar biasa. Datu Sanggul menyanggupi permintaan itu, dengan syarat Datu Daha harus memegang dirinya erat-erat dengan mata tertutup sampai ada perintah membukanya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian Datu Daha diizinkan membuka mata dan ternyata sudah tiba di Mekkah. Mereka lalu ke masjid dan menjalankan shalat Jum'at.
Datu Daha kemudian minta kesediaan Datu Sanggul untuk mengantarkan lagi ke Mekkah tapi kali itu untuk naik haji. Menanggapi permintaan itu Datu Sanggul minta agar Daha menunggu hari Jum'at. Setelah itu dia lenyap dari depan mata Daha.
Diceburkan ke Laut,
Datu Daha adalah orang yang pernah bertemu Nabi Khidhir ketika dia dalam kondisi yang sangat letih setelah diceburkan oleh kapten kapal. karena kapal layar yang mereka tumpangi menuju Tanah Suci tiba-tiba berhenti di tengah laut tanpa sebab yang jelas. Untuk mencari kejelasan itu, dengan bantuan para normal, Daha diceburkan ke dalam laut. "Si Fulan ini harus tinggal di tengah laut," kata si para normal kepada kapten kapal setelah menghitung-hitung bayangan ghaib.
Begitu tubuh Daha tercebur ke laut, kapal itu pun bergerak melaju seperti semula dan meninggalkan Daha di tengah laut. Setelah 30 jam terombang-ambing di laut, akhirnya Daha terdampar di pantai. Ketika hampir pingsan, dia berdo'a kepada Allah memohon keselamatan.
Kemudian dia berjalan menelusuri pantai hingga kelelahan dan jatuh pingsan.
Ketika siuman, dia melihat banyak makam sejauh mata memandang dalam keadaan rapi. Namun dia tidak melihat bangunan rumah. "Pasti kuburan ini ada yang mengurus," pikirnya. "Namun, siapa?"
Karena kelelahan, dia terduduk sambil menolih kiri-kanan, hingga tampak olehnya sebuah gubuk. Dengan terletih-letih dia datangi gubuk itu dan didapatinya seorang lelaki tua sendirian di dalamnya.
"Assalamu'alaikum," ujarnya.
Kemudian terjadilah dialog di antara keduanya.
Singkat kata, orang tua itu adalah Nabi Khidhir, yang mengaku sebagai pengurus pemakaman tersebut, yaitu: makam orang-orang yang mati tenggelam di laut, seperti yang dialami Datu Daha. Jawaban itu diberikan setelah Daha menceritakan pengalamannya sendiri.
Mengetahui bahwa orang tua itu adalah Nabi Khidhir, Daha menyatakan keinginannya untuk pergi haji.
"Kalau Ananda ingin menunaikan ibadah haji, besok aku ikutkan kepada Syaikh Abdussamad. Tiap hari Jum'at dia singgah kemari sebelum ke Mekkah," jawab Nabi Khidhir.
Begitulah, Datu Daha akhirnya bertemu Datu Sanggul dan dibawa ke Mekkah.
Berbulan-bulan kemudian, Datu Daha bertemu para penumpang kapal layar yang ditumpangi dulu. Mereka heran mengetahui Daha telah tiba di Mekkah lebih dulu dari pada mereka. "Bukankah Anda dulu dilempar ke laut, kok bisa duluan sampai di Mekkah? kata salah seorang di antara mereka, keheranan.
"Itu semua kehendak Allah," jawab Datu Daha. Namun dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Nabi Khidhir. Dalam keheranan itu, mereka akhirnya berkesimpulan bahwa kemungkinan Datu Daha adalah wali, bukan orang sembarangan.
Ketika ibadah haji selesai, Datu Daha pun diantar pulang oleh Datu Sanggul dengan cara yang sama. Namun dia diturunkan di ujung kampung Daha, Borneo, tempat asal Datu Daha. "Dari sini Anda jalan ke rumah, supaya orang kampung melihat Anda sudah kembali dari Tanah Suci," pesan Datu Sanggul.
Begitulah, dalam sekejap mata, Datu Daha telah melihat kembali kampungnya dan Datu Sanggul lenyap dari depannya.
Hari itu orang-orang kampung Daha terheran-heran melihat Datu Daha telah kembali. Mereka bertanya-tanya, tapi tidak dijawab oleh Daha. "Aku pulang atas kekuasaan, kodrat, dan iradat Allah SWT. Aku tak kuasa menjelaskannya," kata Datu Daha.
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan itu, orang-orang kampung menunggu kembalinya para jama'ah lainnya sesama penumpang kapal layar. Namun ternyata mereka juga menyatakan keheranannya.
Mereka menceritakan bahwa Datu Daha dibuang ke laut karena ada sesuatu yang aneh ketika kapal tiba-tiba terhenti di tengah laut. Namun ketika sampai di Jeddah, mereka heran melihat Daha juga sudah ada di sana dengan selamat. "Kami terkejut, apa ini benar Datu Daha, atau kami salah lihat," tutur mereka.
Begitu juga ketika ibadah haji selesai. Pada hari Jum'at sorenya dia sudah tidak ada lagi di Mekkah, padahal menurut pengakuannya dia tiba pada hari Jum'at sebelum shalat Jum'at.
Cerita itu membuat warga kampung percaya bahwa Datu Daha memang naik haji dan dia adalah wali yang patut dihormati.
Dalam Balutan Asap Putih
Datu Sanggul, atau Syaikh Abdussamad, atau Syaikh Ahmad Sirajul Huda, berasal dari Palembang. Dia berguru kepada Datu Suban, seorang ulama besar yang ditemuinya dalam mimpi, yang tinggal di Kalimantan Selatan.
Setelah mendapat restu dari ibunya, dia berlayar ke Kalimantan melalui selat Bangka Belitong dan kota Banjarmasin hingga tiba di Kampung Muning, Pantai Munggutayuh Tiwadak Gumpa Rantau Tapin, Kalimantan Selatan, padatahun 1750 M.
Singkat cerita, Datu Sanggul menjadi murid kesayangan Datu Suban dan diberi sebuah kitab pusaka yang berbentuk segi delapan. Rupanya ketika kitab itu diserahkan, itulah akhir hayat Datu Suban, karena tak lama kemudian dia wafat dalam balutan asap putih yang mengepul ke udara ketika tengah berjalan meninggalkan tempat upacara penyerahan kitab tersebut.
Setelah mengamalkan ilmu hakikat dan ilmu laduni dari gurunya itu, Datu Sanggul diberi kelebihan oleh Allah, seperti menceburkan diri ke air sungai dan berwudhu tapi badannya tidak basah kecuali yang wajib wudhu. Tiap hari Jum'at bersembahyang Jum'at di Masjidil Haram Mekkah.
Dia juga berteman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan) sejak tahun 1760, yang bertemu setiap shalat Jum'at di Mekkah.
Syekh Arsyad ingin mempelajari kitab pusaka Datu Suban yang bersegi delapan. Namun Datu Sanggul meminjamkan hanya sebelah sehingga kitab itu berbetuk rencong dan disebut kitab Barencong, dengan catatan: bila ingin melanjutkan kajian dalam kitab itu, Al-Banjari harus turun ke tanah Jawi dan menemuinya di Kampung Muning sambil membawa kain putih seukuran lima helai kain sarung.
Ternyata ketika tiba saatnya untuk mempelajari kitab itu, Syekh Arsyad Al Banjari tidak berhasil menemui Datu Sanggul di Kampung Muning, karena ia sudah wafat.
Teringat pada pesan agar membawa kain putih berukuran lima kain sarung Syekh Arsyad pun menduga bahwa ketika itu agaknya Datu Sanggul sudah mendapat firasat dari Allah akan meninggal bila belahan kitab Barencong itu diserahkan. Subhanallah...
Semoga kita semua mendapat curahan rahmat, berkah dan syafaat dari beliau, diampuni segala dosa, dikabulkan segala hajat, panjang umur, sehat badan, murah rezeki, dan Allah bukakan pintu hati kita untuk selalu mencintai para auliya Allah dan dzuriyat Rasulullah. Aamiin...