Di suatu siang hari, tiba-tiba ponselku berbunyi, kutatap layar hp yang menyala, nampak nomor yag tidak aku kenal sedang memanggil. Kutekan tombol bergambar gagang telepon berwarna hijau, kemudian terjadilah pembicaraan.
“Begini, Pak, operator saya mengundurkan diri, saya kebingungan mengelola EMIS dan SIMPATKA, saya mau minta tolong sama bapak untuk mengelola data madrasah kami”
“Aduh, Pak, bukannya tidak mau membantu, tapi data EMIS madrasah kami belum rampung lagi. Apalagi sekarang harus mengaktifkan dan mencetak kartu NUPTK para PTK di SIMPATIKA serta menyusun jadwal, bagaimana kalau saya mendampingi bapak saja mengelolanya”
“Nggak, pokoknya saya menunjuk kamu jadi operator madrasah saya”
“Aduh, Pak.... gimana ya....”
Setelah terjadi perbincangan yang cukup alot, akhirnya atas dasar kemanusiaan dan rasa iba dengan kepala madrasah yang ditinggal operatornya tersebut aku mengiyakan mengelola EMIS dan sekaligus SIMPATIKA.
Keesokan harinya kepala madrasah itu datang ke rumahku menyerahkan laptop, data-data siswa dan PTK. Selama hampir satu minggu, aku menginput data siswa baru dan mengupdate data-data siswa dan PTK hingga selesai, aku sempat sakit karena kurang istirahat. Namun karena tanggung jawab yang begitu besar yakni menyangkut masa depan madrasah dan para PTK, akhirnya selesai juga dan berhasil melakukan sinkronisasi.
Sesi kedua saatnya mengaktifkan dan mencetak kartu NUPTK, kemudian siap-siap menyusun jadwal agar PTK yang sertifikasi linier dan layak mendapat tunjangan. Oke deh lagi-lagi aku begadang ria hingga akhirnya semua PTK Layak menerima tunjangan dan mencetak S25.
Keesokan harinya beliau datang ke madrasahku dan mengambil kartu NUPTK dan S25a yang telah kucetak, dan bilang begini: “ini untuk beli paket data internet” sambil menyodorkan uang Rp. 200.000,-
“Terima kasih ya” lanjutnya sambil bersalaman
Agak kaget sih, “kok hanya buat paket data internet” gumamku dalam hati, tapi ya sudahlah, tidak apa-apa, namanya juga membantu atas dasar keikhlasan, jadi uang segitu tidak aku pikirkan. Namun, dari kejadian tersebut membuat aku cukup lama merenung, “pantas saja operator madrasahnya mengundurkan diri, hmmmmm.........”
Bukan masalah jumlah uang yang diterima, bukan masalah ikhlas atau tidaknya, bukan mengeluh, dan bukan pula soal mematok bayaran. Hanya saja terkadang pengorbanan OPM tidak sebanding dengan honorarium yang diberikan, hingga niat membantu dengan ikhlas terkesan diremehkan.
Mengabdi bukan berarti tidak butuh duit, butuh duit bukan berarti mata duitan. Kalau memang OPM dituntut untuk mengabdi tanpa pamrih, perlu dipertanyakan, pegawai honorer menuntut diangkat jadi PNS untuk apa? Ujung-ujungnya mengeluh juga kalau tunjangan sertifikasinya tidak dibayar. Jadi, dalam hal ini, seharusnya kita bisa membedakan, mana yang namanya mengeluh, mana yang namanya menuntut hak yang layak sesuai dengan kinerja.
Beruntungnya OPM adalah makhluk kasar ciptaan Tuhan (maksudnya bukan makhluk halus). Coba saja bayangkan, seandainya OPM made in Jepang, Korea atau rakitan Cina, pastilah sudah terpreteli satu persatu. Tentunya sebagai manusia ciptaan Tuhan, tidak ada kata memory over load, baterai risk, dan banyak masalah lainnya. Hanya cukup dengan secangkir kopi dan beberapa potong kue sebagai pengganjal perut, OPM tetap bertahan di depan laptop.
Sebagai tenaga profesional, tentunya OPM tetap bekerja keras dalam melaksanakan tugas walau hingga larut malam. Letih, lesu, dan kurang bersemangat tidak ada dalam kamus hidup OPM.
Oleh:
Rahmat Abahnya Syafiq