Assalaamu'alaikum Sahbat Hanapi Bani.
--- Di awal abad XX, komunitas Jawi (Nusantara) dirisak karena makan belut. Orang Arab menganggap binatang ini sebagai ular. Maka, ramailah gosip jika kaum muslimin Nusantara suka melahap ular, binatang yang haram dikonsumsi. Karena hoax ini semakin liar, maka Syekh Raden Mukhtar bin Atharid al-Bughury tampil mengklarifikasinya dengan menulis sebuah kitab. Tidak tebal, tapi cukup memberikan pemahaman mengenai seluk beluk belut dan hukum memakannya, berdasarkan keterangan ulama di kitab-kitab lawas. Kitab ini diberi judul As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham Al-Kadzibah fi Bayani hilli al-Belut wa ar-Raddu 'ala Man Harramahu.
Dengan demikian, Syekh Mukhtar tidak hanya pasif dan diam saja melihat kabar liar dan olok-olokan soal belut. Beliau tampil memberikan penjelasan komplit untuk menepisnya. Di hadapan para ulama non-Nusantara, beliau memiliki independensi dan kepercayaan diri untuk tidak langsung menerima hukum keharaman memakan belut, melainkan justru memberikan sanggahan serta meluruskan hukum menyantapnya.
--- Penjarahan besar-besaran terhadap pusaka dan pustaka milik keraton Yogyakarta dimulai saat infanteri berat Inggris yang didukung pasukan Sepoy menyerbu benteng, kadipaten hingga kedaton Yogya, 20 Juni 1812. Isi gudang pusaka ludes, dan koleksi perpustakaan keraton dirampok atas restu Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stanford Rafles. Pola serbuan seperti ini sudah biasa dilakukan Inggris dan Belanda maupun penjajah lainnya. Sampai hari ini, naskah-naskah terbaik milik kesultanan Nusantara masih berada di berbagai perpustakaan kampus Eropa. Kabarnya, Ratu Elizabeth pernah berniat mengembalikan naskah-naskah hasil rampokan ini, tapi ditolak oleh Sri Sultan HB X, karena kalaupun naskah ini kembali, belum tentu perawatan dan minat mengkaji isinya sama baiknya dengan saat dipegang sarjana Eropa.
---- Di antara sultan yang produktif menulis adalah Sultan Qaimuddin Muhammad Idrus bin Badaruddin, sultan ke-29 Kesultanan Buton. Beliau memerintah 1824-1851. Di masa mudanya, selain dipersiapkan menjadi sultan cendekia, kakeknya melibatkannya sebagai pemimpin armada laut yang mengusir para bajak laut yang beroperasi di sekitar perairan Kesultanan Buton. Naskah-naskah kuno Buton yang banyak ditulis oleh Sultan Idrus, hingga saat ini terpelihara dengan baik berkat dedikasi Al-Mujazi Mulku Zahari. Lali-laki yang merupakan keturunan sekretaris kerajaan, ingat betul pesan ayahandanya ketika memasrahkan naskah Buton. Petuah itu dia jaga betul. Hingga akhirnya dia menerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam Kategori Maestro Seni Tradisi Kamis (28/9).
--- Ada kwartet ulama yang lahir dalam kurun 10 tahun di awal abad ke-XIX dan memberi corak berbeda bagi perkembangan dunia Islam Nusantara. Syekh Nawawi al-Bantani (1230 H/1813 M ), Syekh Sholeh Darat Assamarany (Lahir 1233 H/ 1817 M), Syekh Kholil al-Bangkalani (1239/1920), dan Sayyid Utsman bin Yahya, mufti Batavia (Lahir 1328 H/1822). Trio ulama pertama memiliki murid yang rata-rata kelahiran 1860 hingga 1875, seperti Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughury, Syekh Hasyim Asyari, Syekh Ahmad Dahlan, Syekh Mahfudz Atturmusy, Syekh Baqir al-Jugjawy dan sebagainya. Sedangkan kalangan Sadat Alawiyyin memiliki sanad keilmuan terhadap Sayyid Utsman, mufti Batavia.
--- Selain menulis dengan menggunakan bahasa Arab, para ulama kita juga memakai bahasa daerah. Hal ini memudahkan masyarakat awam untuk memahami isi kitab. Dalam pendahuluan salah satu karyanya, KH. Soleh Darat menegaskan apabila seharusnya para ulama tidak merasa gengsi untuk menulis menggunakan bahasa lokal.
--- Masih banyak karya ulama yang masih berbentuk manuskrip, maupun pernah terbit tapi tidak dicetak ulang. Sebagian karya ulama kita yang berbahasa Melayu dan Jawa juga banyak diterbitkan oleh penerbit luar negeri, puluhan tahun silam. Misalnya penerbit Mustafa Babi al-Halabi, Mesir; maupun di Beirut, Bombai, dan Singapura. Hal ini menunjukkan pengakuan bahwa karya ulama kita memiliki segmen khusus, terutama di dalam komunitas Jawi di Mesir maupun Haramain.
--- Bahasa Melayu dan Jawa pernah menjadi salah satu bahasa pengantar keilmuan selain Bahasa Arab, Urdu, Persia dan Turki.
--- Penelitian naskah-naskah karya ulama Nusantara perlu dilakukan. Bukan semata-mata mengenang romantisme historis kejayaan masa lalu. Melainkan sebagai upaya mendalami karakteristik dan identitas kita sebagai pewaris kegemilangan masa lampau. Ibarat menarik tali busur, semakin kuat menarik ke belakang, semakin kuat dan jauh lesatan ke arah depan.
--- Langkah selanjutnya, mendigitalisasi serta mempublikasi penelitian atas naskah tersebut. Syukur-syukur jika mentahqiq lalu menerbitkannya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq terhadap karya-karya kakeknya, KH. Muhammad Hasyim Asy'ari, yang bisa kita nikmati saat ini melalui satu jilid "Irsyadus Sari", yang berisi 18 kitab karya pendiri NU tersebut.
Wallahu A'lam Bisshawaab.