Belakangan ini santer terdengar ajakan kembali ke al-Qur'an dan Hadits. Merasa paling paham dengan maksud al-Qur'an dan Hadits, mereka mengajak untuk meninggalkan kitab-kitab karya ulama.
Alih-alih mengajak meninggalkan karya ulama, tetapi mereka ada yang mengubah karya ulama agar sesuai doktrin mereka. Astaghfirullah. Bukti-buktinya dijelaskan dalam status-status pakar manuskrip kitab-kitab ulama Syekh Mbah Riyan al-Jawi.
Padahal, para ulama tidak sembarangan dalam menuliskan kitabnya. Dengan kemampuan yang mumpuni dan selalu mendekatkan diri kepada Allah, buah karya mereka tercipta. Sehingga pada karya mereka diberikan keistimewaan dan karomah-karomah oleh-Nya.
Habib Muhammad bin Ahmad Al-Ahdal menceritakan bahwa setelah Imam Muhammad bin Daud selesai menulis kitab Jurumiyyah yang ditulisnya di depan Ka'bah, beliau kemudian pergi ke sebuah sungai sambil berkata dalam hati, "Ya Allah, jika karyaku ini tidak bermanfaat, maka bawalah ia bersama air."
Beliau lalu meletakan kitabnya di atas air yang mengalir sambil berucap, "Jurru Miyyah (mengalirlah wahai air)." Air tersebut tetap mengalir, namun tanpa membawa serta kitabnya, bahkan tidak basah sedikitpun.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi menceritakan bahwa tiada satu Hadits dalam kitab Ihya Ulumuddin kecuali Imam Ghazali akan shalat dua rakaat dan mencium tulisan Hadits tersebut. Jika Hadits itu berbau wangi maka beliau akan memasukannya ke dalam Ihya. Jika tidak, maka ditinggalkan.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menceritakan bahwa ketika Imam Ibnu Arabi selesai menyusun kitab Futuhat Makiyyah, beliau meletakan kitabnya tersebut di atas Ka'bah selama setahun. Beliau meminta kepada Allah agar menghancurkan kitabnya itu jika tidak bermanfaat bagi umat. Namun setelah setahun berlalu, kitab tersebut masih utuh, padahal tahun itu Makkah sempat diguyur hujan dan badai pasir.
Dari ulama Nusantara, ada Syekh Nawawi al-Bantani yang menulis kitab dengan karomah berupa telunjuk tangannya yang bercahaya bagaikan lampu. Saat itu dalam sebuah perjalanan, karena tidak ada cahaya dalam syuqduf atau rumah-rumahan, sementara inspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syekh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu agar dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis itu. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.
Demikian contoh Mawahib (karamah dalam suatu karya) pada ulama-ulama terdahulu sehingga karyanya tersebut masih lestari dan bermanfaat bagi umat hingga kini. Maka hati-hati dengan lidah dan hati kita, jangan seperti orang Wahabi yang baru hafal satu-dua Ayat atau Hadits namun berani mendhaifkan bahkan menuduh sesat kitab-kitab ulama terdahulu.