Beberapa waktu lalu Dinas Pendidikan Kota Blitar, Jawa Timur mengambil langkah yang cukup menyita perhatian publik dan pemerhati pendidikan dengan surat edaran yang melarang guru memberikan PR (pekerjaan rumah) ke siswa. Tujuannya agar setiap peserta didik memiliki waktu lebih banyak belajar tentang pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan masyarakat. Fenomena ini akhirnya dengan cepat menjadi viral dan menimbulkan perdebatan di masyarakat khususnya di kalangan warganet.
Menyokong Pendidikan Keluarga
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan pendidikan keluarga sebagai pilar untuk mendukung kesuksesan pendidikan karakter. Sebuah tema besar yang diusung bangsa ini dan termaktub dalam Kurikulum 2013 (K-13).
Penguatan pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggung jawab satuan pendidikan namun juga perlu melibatkan keluarga dan masyarkat. Hal ini telah dimuat secara gamblang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017. Barangkali ini yang menjadi alasan diberlakukannya pelarangan pemberian PR di Kota Blitar.
PR selama ini dianggap sebagai ’penghambat’ peserta didik dalam proses ’memanusiakan’ diri dalam tatanan kehidupan sosial.
Memang tak bisa dipungkiri polemik pemberian PR selalu menjadi persoalan yang debatable. Faktanya di sekolah, siswa harus menghadapi mata pelajaran yang jumlahnya banyak. Dalam satu hari saja, seorang murid bisa mempelajari lima mata pelajaran sekaligus bahkan lebih. Dapat dibayangkan apabila kelima guru yang mengampu mata pelajaran tersebut memberikan PR secara bersamaan di hari yang sama dan diikuti oleh guru-guru lain di hari-hari berikutnya.
Ini belum termasuk pada ujian-ujian. Seperti ujian harian, bulanan, semester hingga ujian sekolah dan ujian nasional.
Selain itu, sangat banyak murid-murid yang mengikuti kegiatan belajar tambahan dengan mengikuti bimbingan belajar atau les-les sepulang sekolah. Sehingga meski sudah menghabiskan waktu berjam-jam belajar di sekolah, mereka tetap harus berjibaku dengan tugas-tugas yang menumpuk dan juga persiapan-persiapan untuk ujian-ujian tadi.
Alhasil waktu untuk bercengkerama dengan keluarga dan bersilaturahmi dengan masyarakat menjadi sangat minim. Bahkan kebiasaan seperti ini sangat rentan memicu stresssehingga akan mengganggu keefektifan belajar dan tentunya kesehatan.
Manfaat PR
PR sebenarnya bukanlah hal buruk. Bahkan banyak penelitian yang menunjukkan manfaat penting PR sebagai salah satu faktor kesuksesan peserta didik.
Epsen dan Van Hoornis (2001) mengungkapkan PR tidak hanya mempengaruhi ranah akademis seorang pelajar tapi juga hal-hal seperti pengembangan kepribadian, hubungan orangtua dan anak serta komunikasi antara guru dan orang tua.
Selain itu Sharp (2002) mengemukakan adanya pengaruh langsung dan signifikan antara waktu yang diluangkan siswa mengerjakan PR dengan prestasi yang bersangkutan di sekolah.
Ini membuktikan bahwa penugasan yang diberikan guru sebenarnya tidak menyalahi kaidah pendidikan. Dalam konteks pendidikan di Indonesia dewasa ini, yang menjadi problematika bukan masalah pemberian PR akan tetapi konten PR serta frekuensi dan banyaknya PR yang diberikan guru kepada murid.
Konten PR harus benar-benar diperhatikan. Bila PR hanya berupa tugas-tugas yang bersifat menghafal atau meringkas catatan dari buku-buku teks apalagi dengan jumlah halaman yang sangat banyak tentu bukanlah bentuk PR yang efektif dan wajar saja apabila PR dianggap menjadi beban bila penerapannya seperti itu.
PR harus mengakomodasi apa-apa yang telah dipelajari di sekolah. Apalagi K-13 menitikberatkan pada pendekatan saintifik (scientific approach) dan mengaitkan pembelajaran dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Penghapusan PR justru disinyalir bisa menghambat terlaksananya konsep ini.
Sebagai contoh dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Di kelas peserta didik mengamati jenis teks iklan (advertisement) dengan ciri-ciri kebahasaannya yang diberikan guru. PR dapat diberikan kepada peserta didik berbentuk project dengan mengumpulkan contoh-contoh teks iklan lain yang mereka temukan di masyarakat baik melalui internet, surat kabar, majalah maupun billboard (papan iklan) lalu membandingkan dengan apa yang mereka pelajari secara konsep di sekolah. Perbandingan itu bisa saja menghasilkan penemuan baru (discovery) oleh pesereta didik yang tidak ditemukan saat belajar di kelas sehingga pembelajaran tidak hanya menjadi efektif tapi juga lebih nyata dan applicable (dapat diterapkan)
Sekolah juga harus menggariskan aturan baku dan mengikat agar ada koordinasi di antara guru sehingga tidak memberikan PR secara menumpuk dalam satu hari apalagi dengan tenggat batas waktu pengumpulan yang singkat. Dengan cara seperti ini, maka peserta didik tidak akan terbebani dan dapat mengerjakan PR secara maksimal.
Pada akhirnya PR bukan lagi menjadi hal yang mengganggu tapi menjadi sarana membantu peserta didik dalam memahami pembelajaran secara komprehensif.