Dua pejabat Kementerian Agama pada Jumat, 15 Maret 2019, tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Surabaya, Jawa Timur. Sehari kemudian, dua ASN tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Peristiwa ini mengagetkan banyak pihak, terutama keluarga besar Kementerian Agama. Pasalnya, kasus itu terjadi justru pada saat ASN di bawah komando Menag Lukman Hakim Saifuddin sedang cancut taliwondo dalam mereformasi institusi.
Kementerian Agama pun menjadi sorotan publik. Beragam pandangan mengemuka dalam melihat peristiwa ini dengan berbagai perspektifnya. Ada yang kemudian melakukan generalisasi, lalu mengatakan bahwa persoalan korupsi di kementerian ini sudah akut dan menggurita. Ada yang berpandangan kalau itu ulah oknum semata, tangkap tikusnya, bukan bakar lumbungnya. Ada juga mantan orang dalam yang “membusung dada”, seakan kondisi tempat kerjanya memburuk setelah kepergiannya.
Lantas, benarkah kinerja Kementerian bermotto Ikhlas Beramal ini memburuk? Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Mastuki menjelaskan bahwa dalam rentang 2014 – 2019 masa kepemimpinan Menag Lukman Hakim Saifuddin (LHS), Kementerian Agama justru banyak prestasi dan apresiasi. Prestasi dan apresiasi itu tidak hanya dirasakan ASN Kemenag, tapi juga diberikan oleh pihak luar.
Opini WTP
Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Kementerian Agama 2014 (LKKA) misalnya, pada tahun pertama kepemimpinan LHS adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Dengan Paragraf Pengecualian. Setahun kemudian menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena saat itu adalah kali pertama implementasi akuntansi berbasis akrual di laporan Keuangan Pemerintah. Namun, perbaikan tata kelola dan kualitas laporan keuangan terus dilakuakn sehingga pada tahun 2016, Kemenag memperoleh opini tertinggi, WTP.
Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Kementerian Agama 2014 (LKKA) misalnya, pada tahun pertama kepemimpinan LHS adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Dengan Paragraf Pengecualian. Setahun kemudian menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena saat itu adalah kali pertama implementasi akuntansi berbasis akrual di laporan Keuangan Pemerintah. Namun, perbaikan tata kelola dan kualitas laporan keuangan terus dilakuakn sehingga pada tahun 2016, Kemenag memperoleh opini tertinggi, WTP.
“LKKA Kemenag tahun 2016 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Prestasi ini berhasil dipertahankan pada LKKA tahun 2017. Ini tentu indikasi adanya perbaikan,” tegas Mastuki di Jakarta, Kamis (21/03).
“LKKA Kemenag tahun 2018 masih dalam pemeriksaan BPK. Kami berharap tetap mendapat opini yang sama, WTP,” sambungnya.
Dikatakan Mastuki, dengan WTP, auditor BPK berarti meyakini bahwa berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, Kemenag telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik. Kalaupun ada kesalahan, itu dianggap tidak material dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.
Indeks Reformasi Birokrasi
Reformasi Birokrasi (RB) di Kemenag juga bergeliat. Ini bisa dilihat dari indeks penilaian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB). Kalau pada tahun 2014, indeks RB Kemenag baru 54,83 atau masuk kategori “CC”, perlahan angkanya naik menjadi 62,28 atau “B” (2015), 69,14 atau “B” (2016), 73,27 atau “BB” (2017), dan 74,02 atau “BB” (2018)
Reformasi Birokrasi (RB) di Kemenag juga bergeliat. Ini bisa dilihat dari indeks penilaian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PANRB). Kalau pada tahun 2014, indeks RB Kemenag baru 54,83 atau masuk kategori “CC”, perlahan angkanya naik menjadi 62,28 atau “B” (2015), 69,14 atau “B” (2016), 73,27 atau “BB” (2017), dan 74,02 atau “BB” (2018)
“Ada kenaikan cukup signifikan dalam lima tahun terakhir, dari 62,28 menjadi 74,02 atau dari “CC” menjadi “BB”. Proses perbaikan terus dilakukan, semoga tahun depan kami sudah masuk kategori “A”,” tutur Mastuki.
Penilaian SAKIP
Peningkatan juga terjadi pada akuntabilitas kinerja ASN Kementerian Agama. Peningkatan ini bisa dilihat dari kenaikan grafik penilaian Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang juga dilakukan oleh Kemen PANRB. Jika pada 2014, SAKIP Kemenag masih dalam kategori “CC” dengan nilai 60,53, kategori dan nilai tersebut terus naik. Tahun 2015, SAKIP Kemenag sudah “B” dengan 62,01. Dua tahun berikutnya, capaian ini juga naik menjadi 68,17 (B), dan 70,02 (BB).
Peningkatan juga terjadi pada akuntabilitas kinerja ASN Kementerian Agama. Peningkatan ini bisa dilihat dari kenaikan grafik penilaian Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang juga dilakukan oleh Kemen PANRB. Jika pada 2014, SAKIP Kemenag masih dalam kategori “CC” dengan nilai 60,53, kategori dan nilai tersebut terus naik. Tahun 2015, SAKIP Kemenag sudah “B” dengan 62,01. Dua tahun berikutnya, capaian ini juga naik menjadi 68,17 (B), dan 70,02 (BB).
“Tahun ini, nilai SAKIP kita kembali naik menjadi 70,12 atau BB. Target kami, tahun depan sudah “A”,” tegasnya.
Indeks Kepuasan Jemaah Haji
Capaian kinerja Kementerian Agama dalam empat tahun terakhir juga sangat nampak dari penilaian masyarakat terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Penilaian itu tercermin dalam Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS).
Capaian kinerja Kementerian Agama dalam empat tahun terakhir juga sangat nampak dari penilaian masyarakat terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Penilaian itu tercermin dalam Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS).
Tahun 2014, atau tahun pertama Menag Lukman Hakim Saifuddin menjadi Amirul Hajj pada penyelenggaraan ibadah haji, IKJHI hasil survei BPS mencapai 81,52. Indeks kepuasan ini terus naik menjadi 82,67 (2015), 83,83 (2016), dan 84,85 (2017). Semuanya dalam kategori memuaskan.
“Puncaknya, survei BPS tentang Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia, mencapai 85,23 pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2018 sehingga masuk kategori sangat memuaskan,” tuturnya.
“Ini pertama kali dalam sembilan kali sejarah survei kepuasan yang dilakukan oleh BPS sejak tahun 2010,” lanjutnya.
Mastuki menambahkan, keempat indikator ini menunjukkan bahwa proses reformasi birokrasi dan perbaikan kinerja di Kementerian Agama berjalan on the track dan berkesinambungan. Setiap menteri dalam periodenya memberikan andil masing-masing bagi terus membaiknya kinerja kementerian yang lahir pada 3 Januari 1946 ini.
“Reformasi birokrasi di Kemenag memang belum selesai. Masih ada beberapa bolong yang harus ditambal. Tapi, rumah bocor cukup ditambal dan diperbaiki, tak perlu diluluhlantakkan!” tandasnya.