Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan ujian nasional (UN) merupakan alat ukur standar yang digunakan untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa. Namun, UN bukan satu-satunya alat ukur prestasi akademik.
"Yang harus dicegah dan dihentikan adalah penyalahgunaan UN sebagai satu-satunya alat ukur prestasi akademik siswa," kata Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Publik Soeparto, Selasa (19/3).
Dia menjelaskan keberadaan UN sebagai alat ukur standar merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan pendidikan berbasis standar. Hal itu telah diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2005.
Namun, kata Soeparto, penggunaan model UN untuk ulangan harian, ujian semester atau ujian akhir sekolah tidak dapat dibenarkan, karena akan mereduksi proses pendidikan.
"Variasi model penilaian formatif, termasuk penilaian bakat, harus dikembangkan di setiap sekolah dan harus menjadi salah satu kompetensi setiap guru," ujarnya.
Menurutnya, UN bukan hanya tentang skor, tetapi sebagai alat diagnosis untuk memperbaiki kemampuan siswa.
Dia mengklaim beberapa kelemahan UN sudah bisa diatasi. Penyelenggaraan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) telah diikuti hampir seratus persen peserta UN sekolah menengah, dan sekitar 80 persen peserta SMP sederajat.
"Kualitas materi ujian juga telah diperbaiki secara berkelanjutan," katanya.
Dia menyebutkan dari sisi biaya, penyelenggaraan UN memerlukan biaya sekitar Rp55 ribu per siswa. Hal itu meliputi biaya cetak UNKP, pengawasan, admin, dan pembinaan proktor ujian.
"Kalau negara atau masyarakat menyediakan komputer untuk UNBK, maka sarana tersebut merupakan investasi untuk mendorong perbaikan proses belajar," ujarnya.
Sebelumnya, cawapres Sandiaga Uno menyatakan akan menghapus UN jika terpilih pada Pilpres 2019. Menurutnya, UN merupakan wujud sistem yang tak berkeadilan dan pemborosan.
"UN akan kita hapus. Itu salah satu bagian dari pemborosan," kata Sandi usai mengikuti Debat Cawapres di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3).
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai usulan Sandiaga menghapus UN dapat membahayakan kualitas pendidikan nasional. Menurut JK, pelaksanaan UN tetap penting sebagai standar evaluasi pendidikan di tiap daerah.
"Ini satu-satunya cara untuk evaluasi adalah pendidikan, misal di daerah ini baik, daerah lain rendah. Jadi harus jaga standar. Ada UN saja pendidikan kita masih rendah, bagaimana kalau tidak ada," ujar JK di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (19/3).