Hakim Pengadilan Negeri Sampang akhirnya menjatuhkan vonis bersalah kepada MH (17) pelajar SMAN 1 Torjun Sampang yang menganiaya Ahmad Budi Cahyanto, guru kesenian di sekolah tersebut, hingga tewas, Selasa (6/3/2018). Pelajar itu dijatuhi vonis 6 tahun penjara. Para majelis hakim sepakat menyatakan MH terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan hingga pembunuhan sesuai dengan isi Pasal 338 KUHP. Bhirawa (7/3/2018).
Tulisan ini tentu tidak sedang ingin mendiskusikan apakah vonis tersebut pantas dijatuhkan atau tidak, biarlah itu menjadi wilayah para ahli hukum. Penulis lebih ingin mengajak semua pihak untuk bisa memetik pesan dari kasus tersebut agar tragedi memilukan tersebut tidak kembali terulang.
Kejadian yang menimpa salah seorang guru honorer mata pelajaran seni rupa Ahmad Budi Cahyono, S.Pd. di SMA 1 Torjun, Sampang, Madura pada awal Februari lalu menjadi tragedi kemanusiaan. Bagaimana tidak, guru yang seharusnya dihormati sebagaimana orang tua, meninggal di tangan muridnya sendiri. Sungguh memprihatinkan dan menyentak sisi terdalam hati nurani.
Keberadaan guru di sekolah adalah sebagai pengganti orang tua. Untuk itu hendaknya dihormati dan ditaati selama dalam koridor kebenaran. Namun, apa yang terjadi ketika peserta didik sudah tak menghormati bahkan mengancam jiwa gurunya?
Salah satu tugas dan kewajiban guru adalah menegur ketika muridnya melakukan kesalahan, penyimpangan, atau tidak mengindahkan peraturan di sekolah. Proses demikian mencerminkan tanda sayang. Setiap guru menginginkan muridnya tumbuh menjadi pembelajar sejati. Tidak hanya pintar dalam akademik, tetapi juga memiliki sikap dan sosial yang baik.
Kepergian Pak Guru Budi meninggalkan perih dan kekhawatiran di dunia pendidikan. Apa yang ada di benak murid saat menganiaya gurunya sendiri hingga babak belur? Di mana rasa hormat dan menghargai guru? Apakah dalam keluarganya tidak pernah tertanam bagaimana cara memberlakukan gurunya? Peristiwa ini hendaknya menjadi bahan renungan dan evaluasi bersama sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali. Kejadian demi kejadian kriminal yang menimpa guru, haruskan membuat guru menguasai ilmu bela diri? Bukankah lebih elok jika guru menguasai jurus ikhlas?
Benarkah urusan pendidikan itu selalu menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan formal, dalma hal ini sekolah? Apakah jika sudah sekolah serta merta anak menjadi pribadi yang baik? Banyak orang tua yang “pasrah bongkokan” nasip anaknya pada sekolah. Seolah jika sudah memilihkan sekolah yang baik, “habis perkara”.
Padahal, rumah adalah basis utama pendidikan. Rumah merupakan tempat pertama kali seorang manusia mendapatkan ilmu dan pengalaman. Hendaklah sebagai orang tua menanyakan kembali pada diri masing-masing sesebanrnya apa alasan menyekolahkan anaknya.
Sekolah memang dapat mengembangkan pengetahuan manusia, karena di sekolah ada banyak guru dengan latar keilmuan yang berbeda-beda. Lain halnya dengan orang tua yang mungkin hanya menguasai satu atau dua mapel bidang ilmu, setidaknya ilmu yang dimiliki kedua orang tuanya. Namun demikian, perihal karakter anak, orang tua haruslah yang pertama kali menanamkannya.
Berikut ini solusi yang bisa ditawarkan untuk menumbuhkembangkan karakter pada diri anak didik. Ada tiga hal yang saling berkaitan, yaitu keluarga (dalam hal ini keluarga), sekolah, dan masyarakat. Pertama, pihak orang tua hendaknya menyadari peran pentingnya sebagai basis utama pendidikan anaknya. Keberadaan anak adalah sebuah amanah yang kelak dimintai pertangungjawaban oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Keluarga hendaknya menanamkan nilai-nilai karakter sejak dini bahkan jauh sebelum memasuki bangku sekolah. Orang tua tidak bisa memasrahkan begitu saja pendidikan anaknya kepada pihak sekolah. Bagaimanapun, orang tua adalah guru pertama bagi anaknya.
Istadi (2016: 336-342) dalam buku Mendidik dengan Cinta mengemukakan bahwa orang tua tak bisa menghindarkan diri sebagai pemikul utama tanggung jawab pendidikan. Ini adalah tugas keluarga. Lembaga prasekolah dan sekolah hanya berperan sebagai mitra pembantu. Tugas penting orang tua ini akan sangat terdukung jika mampu menciptakan suasana rumah menjadi tempat tinggal sekaligus basis pendidikan. Tugas berat, memang. Namun, ada banyak cara untuk melakukannya. Rumah sebagai basis pendidikan akan dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal berikut ini. (1) melengkapi fasilitas pendidikan melalui tempat belajar yang menyenangkan, media informasi dalam hal ini melalui surat kabar, majalah, dapat pula denganponsel atau laptop dengan koneksi internet, dan ketersediaan perpustakaan keluarga. (2) budaya ilmiah misalnya budaya belajar semua anggota keluarga, jam baca keluarga, gairah berbagi pengetahuan, dan juga gairah rasa ingin tahu. Tentu saja orang tua harus mencontohkannya. Bukankah guru terbaik adalah keteladanan?
Kedua, pihak sekolah harus bersinergi dengan pihak keluarga dalam hal ini orang tua. Sekolah perlu memikirkan cara agar orang tua proaktif menjalin komunikasi dengan pihak sekolah. Jangan sampai ketika ada masalah pada anak orang tua malah mengintimidasi gurunya. Hendaknya duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Tentunya pihak sekolah berharap agar orang tua jangan sungkan menanyakan kabar anak ke sekolah. Harapan yang ingin diwujudkan adalah apa yang disampaikan guru di sekolah dan orang tua di rumah akan seiring sejalan serta bahu membahu mewujudkan karakter pada anaknya. Jika komunikasi dua arah sudah terjadi dengan baik dan mempunyai pijakan yang sama antara orang tua dan guru maka anak akan memiliki muara karakter yang sama.
Kisah menarik diceritakan oleh Alifi (2017: 121-122) dalam bukunya Rockstar Teacher bahwa walimurid di MIT AR-Roihan, Kabupaten Malang mampu menggerakkan walimurid untuk ambil bagian di kegiatan-kegiatan sekolah. Walimurid datang ke sekolah tidak hanya untuk urusan antar jemput anaknya atau sekadar menghadiri pertemuan orang tua seperti pengambilan rapot atau rapat komite sekolah. Ketika menerima kunjungan studi banding dari luar daerah misalnya, walimurid bahkan bertindak sebagai guide menjelaskan tiap bagian sekolah. Dari cara menjelaskan, walimurid tidak lagi sebagai outsider di sekolah tersebut. Mereka tuntas sekali dalam mengetahui dan memahami seluk-beluk sekolah. Hanya hal-hal yang berurusan dengan istilah-istilah akademik—seperti RPP, silabus, dan metode mengajar—saja yang mereka serahkan kepada guru-guru. Rupanya, ada kiat yang mereka terapkan, yaitu menjalin hubungan yang intens antara guru-karyawan dan orang tua. Hubungan tersebut layaknya keluarga, bukan sekadar seperti wali murid dan sekolah. Aplikasi whatsap dapat diberdayagunakan. Sekolah pun membentuk paguyuban dan sebulan sekali pasti berkumpul entah arisan atau kegiatan lainnya.
Ketiga masyarakat hendaknya dapat bertindak sebagai kontrol atas jalannya pendidikan karakter. Jika terjadi sebuah kasus atau masalah, masyarakat tidak boleh tinggal diam. Justru masyarakat mempunyai kekuatan yang lebih besar. Karena keluarga dan sekolah otomatis menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Untuk itu, pihak sekolah perlu menjalin simbiosis mutualisme dengan pihak keluarga dan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan dalam kegitan-kegiatan di sekolah. Pun keluarga sebagai bagian dari masyarakat harus mendukung apa-apa yang dicanangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat dalam hal ini kumpulan keluarga perlu memikirkan nasib pendidikan warganya. Keberadaan RT, PKK, Dasawisma, Pedukuhan perlu dimaksimalkan untuk berperan secara aktif memikirkan pendidikan dalam rangka menanamkan karakter.
Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga keluarga di rumah. Jika setiap keluarga melakukan perannya dengan baik dalam menanamkan pendidikan karakter, nantinya akan tercipta masyarakat yang berkarakter. Pada tahapan selanjutnya, masyarakat yang berkarakter akan membentuk warga negara yang berkarakter. Semoga generasi penerus bangsa memiliki karakter yang kuat sehingga tidak akan muncul lagi kasus guru Budi yang lain.
(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Bhirawa, edisi 12 Maret 2018)
Penulis : Yeti Islamawati, S.S. Guru di MTsN 9 Bantul. (surel yetiislamawati@gmail.com; IG: @yetiislamawati; FB: Yeti Islamawati)