Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta santri-santri untuk dapat mengisi sosial media dengan konten keberagamaan yang mencerahkan umat. Ini perlu dikakukan, karena santri merupakan kalangan yang dianggap memiliki pengetahuan serta wawasan yang lebih baik dalam hal keberagamaan dibandingkan dengan orang awam. Hal ini diungkapkan Menag saat Kopdar Akbar Santrinet Nusantara, di Jakarta.
“Maka pendekatan santri dalam bersosial media itu harus mencerahkan.Caranya itu harus menjelaskan, bukan memperhadapkan (antara hal yang bertentangan). Bersosial media harus mengimplementasikan ilmu yang kita miliki untuk mencerahkan masyarakat,” kata Menag Lukman pada acara yang mengusung tema Pengarusutamaan Konten Perdamaian, Jumat (20/09).
Menag menuturkan, selama berada dalam pendidikan pondok pesantren, para santri telah mendapatkan ilmu-ilmu keagamaan yang komprehensif. Mulai dari tauhid, fiqih, quran, hadis, hingga sejarah islam. Ilmu-ilmu ini yang diharapkan Menag dapat digunakan santri untuk dapat membahas permasalahan kekinian dari kacamata agama.
Kopdar Akbar Santrinet Nusantara ini merupakan rangkaian Hari Santri 2019 yang digelar oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama. Hadir dalam acara tersebut, santri-santri yang juga merupakan admin pada akun-akun media islam seperti @nu-online, @GontorGarisLucu, @Lensamuh, @aisnusantara, dan sebagainya.
“Teman-teman santri ini, kita harapkan dapat menjadi bridging untuk menyebarkan nilai-nilai islam wasathiyah yang selama ini disampaikan oleh para Kiai, agar dapat diterima oleh kaum media sosial,” ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Zayadi yang memandu Kopdar kali ini.
Menag dan para santri mendiskusikan dua hal dalam Kopdar. Yaitu, konten dan metodologi penyebaran wacana perdamaian di media sosial. Menurut Menag, saat ini perlu terus disebarkan wacana atau narasi tentang moderasi beragama.
“Moderasi beragama adalah upaya, ikhtiar yg tidak berkesudahan agar setiap kita dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama berada pada jalurnya yang tidak berlebihan, tidak ekstrim,” kata Menag.
Menag Lukman menyampaikan tiga parameter untuk melihat apakah suatu pemikiran dan pengamalan agama dapat dikatakan ekstrim atau tidak. Pertama, nilai-nilai kemanusiaan. “Karena agama Islam hadir untuk memanusiakan manusia. Bahkan ibadah yang sangat pribadi, semisal Shalat pun tidak hanya berhenti pada hubungan hamba dengan Tuhannya. Tetapi juga berorientasi pada hubungan sosial manusia, yaitu untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar,” ujar Menag.
Maka menurut Menag, apabila ada kelompok yang mengatasnamakan agama kemudian malah merendahkan nilai-nilai kemanusiaan, maka itu sudah masuk kategori ekstrim. Nah bila menemukan hal demikian, menurut Menag maka yang harus dilakukan adalah berusaha mengajak untuk kembali kepada cara beragama yang moderat.
“Watak agama itu merangkul. Dakwah itu mengajak, bukan memusuhi apalagi mengkafirkan. Bila menemui saudara kita yang memiliki pemahaman ekstrim, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengajak mereka kepada wasathiyatul islam,” ujar Menag.
Kedua, kesepakatan. Ketika ada paham keagamaan justru merusak kesepakatan bersama maka ini telah berlebihan. Dalam konteks indonesia, kesepakatan bersama kita adalah Pancasila. “Apa bila merasa tidak sesuai atau ingin mengganti kesepakatan , maka mari kita tempuh cara-cara yang telah kita sepakati bersama. Jangan sampai atas nama agama, kita meruntuhkan kesepakatan yang telah disepakati bersama,” pesan Menag.
Ketiga, ketertiban umum. Lagi-lagi, menurut Menag, seluruh maqasidus syariah itu selain menjaga nilai-nilai kemanusiaan juga menciptakan ketertiban umum. Menag menambahkan Islam itu sangat menjunjung tinggi ketertiban umum, karena itu adalah prasyarat terwujudnya kedamaian. “Jadi ketika ada paham keagamaan yang menimbulkan ancaman bagi ketertiban umum, maka itu sudah berlebihan,” kata Menag.
Dengan tiga parameter tersebut, Menag mengajak para santri untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan bijak. Bukan hanya perbedaan antar agama, bahkan menyikapi perbedaan paham dalam satu agama pun harus bijak. "Apapun pahamnya, selama tidak mengusik tiga hal tadi, kemanusiaan, kesepakatan, dan ketertiban umum, kita harus tetap menghargainya," tukas Menag.
Akhirnya, Menag berpesan kepada para santri untuk menebarkan kedamaian dengan rasa cinta. “Kita ingin menebarkan kedamaian, tentu harus dengan rasa cinta. Bagaimana mungkin kita bisa menebarkan kedamaian dengan amarah. Bahkan ajaran agama itu bukan paksaan," pesannya.