Visi pendidikan di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru, Nadiem Makarim, untuk mencetak lulusan sekolah yang andal memenuhi kebutuhan dunia usaha membuat was-was sebagian orang tua murid.
Mereka khawatir bakal ada perubahan kurikulum secara masif demi menopang target besar pemerintah menyiapkan angkatan kerja baru.
Hingga kini Nadiem masih menyusun program kerja nyatanya yang diklaim akan ditopang penggunaan teknologi terkini.
Namun pemerintah secara umum menyebut perubahan kebijakan besar hanya akan berdampak pada sekolah menengah kejuruan.
Wulan, warga Tangerang, Banten, menyebut anaknya, yang kini berstatus siswa sekolah dasar, kehilangan banyak waktu bermain setelah pihak sekolah menerapkan Kurikulum 2013 (K13), dua tahun lalu.
Anak Wulan menempuh pendidikan dasar di sekolah berbasis alam dan aktivitas luar ruangan.
Saat anaknya naik kelas empat, pihak sekolah memutuskan menerapkan kurikulum berbasis tematik yang sebenarnya sudah dijalankan di sekolah negeri sejak 2013.
"Dari kelas satu sampai tiga, tidak ada pelajaran formal, baru kelas empat dia menjalani ujian," kata Wulan saat dihubungi, Selasa (29/10).
"Sekarang beban akademiknya tinggi, saya harus memasukkannya ke layanan bimbingan belajar. Kalau melihat materi ujian nasional, saya khawatir dia tidak bisa mengejar," ujarnya.
Wulan mengaku kini khawatir pada pernyataan Nadiem tentang orientasi pendidikan yang akan menyasar pasar tenaga kerja.
Dia cemas anaknya akan kembali menghadapi perubahan kurikulum dan hanya bakal dididik menjadi generasi yang terpatok pada pekerjaan formal.
"Apakah anak-anak memang akan diarahkan untuk bekerja secara formal? Kurikulum harus mengakomodasi kecerdesan setiap anak yang berbeda, bahwa matematika bukan untuk setiap orang."
"Bagaimana anak yang berbakat dalam bidang seni? Saya khawatir mimpi mereka akan dimatikan kurikulum yang berpatokan pada kerja," kata Wulan.
Dalam sejumlah kesempatan dalam awal kinerjanya akhir Oktober ini, Nadiem menyebut dua fokus kinerjanya ke depan, salah satunya penyelarasan kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia kerja.
Fokusnya yang lain adalah penerapan teknologi untuk memperkuat soft skill peserta didik.
Namun anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Itje Chodijah, menilai kurikulum tak perlu diubah untuk membentuk angkatan kerja yang andal. Menurutnya, secara konsep dan filosofis K13 sudah memuat visi tersebut.
"K13 sebenarnya sudah mengarah ke sana, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana guru mampu menerapkannya secara efektif di kelas sehingga siswa terdampak," kata Itje via telepon.
"Sebelumnya ini dilakukan pada tahap yang sangat teknis. Kalau dunia kerja butuh tukang patri, sekolah siapkan tukang patri."
"Dunia kerja butuh orang yang memiliki soft skill dan kemampuan berpikir kritis. Ini yang harus digarap dalam jenjang pendidikan apapun," ucapnya.
Kalaupun perubahan kurikulum nantinya bakal diterapkan, Ketua Forum Guru Independen Indonesia, Tetty Sulastri, menilai pemberlakukannya hanya untuk sekolah menengah kejuruan (SMK).
Sejak awal pembentukannya, kata Tetty, hanya SMK yang diharapkan meluluskan peserta didik yang siap kerja tanpa perlu melalui jenjang universitas.
"Kurikulum SMA kan memang tidak mengarah ke sana, apakah harus diubah kurikulumnya? Apakah anak SMA yang masih harus melaju ke pendidikan tinggi harus sudah dikenalkan ke dunia kerja?" ujar Tetty.
Sembilan hari usai pelantikannya, Nadiem urung mengumumkan langkah yang akan diambilnya untuk dunia pendidikan. Selama 100 hari kerja pertamanya, ia berencana menyaring masukan dari setiap pihak yang berkepentingan.
Bagaimanapun, kebijakan pendidikan yang bakal diambil Nadiem diklaim tak bakal berbeda jauh dengan pendahulunya, Muhadjir Effendy.
Deputi Pendidikan dan Agama di Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Agus Sartono, menyebut perbaikan kualitas tenaga kerja di lembaga pendidikan merujuk ke SMK.
Badan Pusat Statistik mencatat, dari total 6,8 juta pengangguran per Februari 2018, mayoritas di antaranya adalah lulusan SMK.
"Ketidaksesuaian lulusan SMK dan dunia kerja didasarkan pada kesempatan magang yang kurang," ujar Agus.
"Kunci supaya sesuai, mereka tidak hanya diajari teori tapi kesempatan mengetahui kenyataan di dunia kerja."
"Kurikulumnya juga dibenahi oleh pengguna lulusan dan kementerian. Anak-anak dididik, lalu magang. Tanpa magang, mereka akan gamang saat bekerja," tuturnya.
Agus berkata, rencana jangka panjang pemerintah adalah menyederhanakan kurikulum SMK. Selain itu, dalam lima tahun ke depan sekitar 5.000 SMK ditargetkan terlibat dalam program magang yang digagas pemerintah dan dunia usaha.
"SMK belum jadi pilihan utama karena akses magang kurang sehingga banyak lulusan menganggur. Akhirnya muncul lulusan SMK sulit mendapatkan pekerjaan."
"Lingkaran setan seperti itu harus diperbaiki. supaya lambat laun orang tidak mengejar gelar tapi peluang pekerjaan. Tujuan akhir sekolah dan kuliah adalah mendapat pekerjaan, bukan sekedar gelar," kata Agus.
Pada tahun 2020, Kemendikbud akan mendapat anggaran sebesar Rp35,7 triliun. Tak cuma soal kurikulum, para praktisi pendidikan menilai Nadiem perlu menilik soal keterjangkauan pendidikan hingga kualitas dan kesejahteraan guru.