“Satu pertiga hidup anak berada di sekolah, oleh karena itu sekolah turut menyumbangkan sepertiga dari kualitas hidup anak-anak kita. Untuk itu, sangat penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak saat berada di sekolah,” – Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA.
Pelaksanaan program Sekolah Ramah Anak menjadi berita hangat belakangan ini. Banyak daerah yang berlomba mengumumkan bahwa daerahnya mendukung dan menjalankan program ini.
Sekolah ramah anak merupakan salah satu pemenuhan hak anak yaitu pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, dalam rangka mewujudkan kota layak anak.
Kabupaten Hulu Sungai Utara pada tahun ini mendapatkan Kategori Madya yang mana tahun sebelumnya juga menerima KLA dengan kategori Madya.
Prestasi yang telah diraih ini tidak lepas dari dipenuhinya hak-hak anak, dimana Pemkab HSU memberikan perhatian yang lebih terhadap pemenuhan hak-hak anak.
Lalu sudah tahukah anda mengenai program ini? Apa yang membuat sekolah mendapat ‘label’ Sekolah Ramah Anak?
Dalam Peraturan Menteri No 12 Tahun 2011 Sekolah Ramah Anak didefinisikan sebagai sekolah yang mampu menjamin pemenuhan hak anak dalam proses belajar mengajar, aman, nyaman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi, serta menciptakan ruang bagi anak untuk belajar berinteraksi, berpartisipasi, bekerja sama, menghargai keberagaman, toleransi dan perdamaian.
Masih berdasarkan sumber yang sama, sebuah sekolah dapat disebut Sekolah Ramah Anak, bila memenuhi minimal kriteria berikut ini:
- Punya kebijakan anti kekerasan (sesama siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, termasuk pegawai sekolah lainnya)
- Memiliki program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
- Lingkungan sekolah yang bersih dan sehat
- Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
- Sekolah Adiwiyata
- Memiliki warung/kantin kejujuran
- Siswa terlibat/dilibatkan dalam pembuatan kebijakan sekolah
Beberapa hal yang menjadikan program Sekolah Ramah Anak ini ‘baru’, terlihat pada penekanan hak anak untuk terlindung dari kekerasan dan dihargai pendapatnya. Hal ini tercermin juga dari Komponen Sekolah Ramah Anak yang menyebutkan penggunaan disiplin positif dalam proses belajar dan partisipasi anak.
Tentunya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para pendidik untuk meninggalkan ‘tradisi’ mendisiplinkan siswa dengan cara memarahi, mencubit atau bahkan menampar. Ini baru satu contoh kecil tentang kekerasan yang bisa terjadi dari interaksi pendidik dengan siswa.
Lalu bagaimana dengan kasus perundungan? Saat siswa terlibat baik sebagai pelaku ataupun korbannya. Langkah apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Bagaimana Sekolah Ramah Anak dapat menjadi solusi atas masalah ini? Apakah cukup dengan membuat kebijakan anti perundungan di sekolah? Seperti syarat minimal yang tertera dalam Sekolah Ramah Anak? Atau ada inovasi lain yang dapat dilakukan? Seperti di India, seorang guru bersama muridnya membuat pertunjukan teatrikal untuk mencegah kasus perundungan di sekolah. Hal ini didasari karena mereka yakin bila menggunakan cara tradisional seperti memberi hukuman, dalam menangani kasus perundungan tidaklah menyelesaikan akar masalah.
Selain itu, perihal partisipasi anak dalam sekolah juga kurang dijelaskan lebih jauh. Hal ini tanpa bermaksud mengecilkan capaian pemerintah dalam mendorong partisipasi dan suara anak melalui Forum Anak. Akankah kata “partisipasi” merujuk pada kegiatan yang sudah umum dilakukan? Contohnya, siswa berpartisipasi dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah dan berkegiatan melalui OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Adakah inovasi baru? Seperti yang dilakukan Human Rights Friendly School Project, mencantumkan indikator “My school is democratic” dalam assessment tool yang diisi oleh seluruh warga sekolah (kepala sekolah, guru, staf, dan siswa) untuk mengukur partisipasi anak dalam kebijakan sekolah yang dibuat.
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, Sekolah Ramah Anak yang menjadi bagian program Kabupaten / Kota Layak Anak, tentu tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas terkait atau warga sekolah saja. Kita sebagai masyarakat juga harus berperan aktif dalam program bertujuan baik ini. Bisa melalui berbagai cara seperti mengkritisi, ikut mengawasi proses pelaksanaanya, membuat inisiatif baru, dan beragam cara lainnya.
Jadi sudah siap ambil bagian mewujudkan ‘Indonesia sebagai Negara Ramah Anak?’